Universitas Pertahanan atau biasa disebut dengan UNHAN ( bahasa Inggris : Indonesian Defense University atau IDU ) adalah sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang menyelenggarakan pendidikan vokasi , sarjana , dan pascasarjana di bidang pertahanan dan bela negara , dengan tujuan untuk melaksanakan pembangunan dan pengembangan yang berorientasi pada Tri Dharma perguruan tinggi , untuk mencapai standar pendidikan nasional dan universitas berstandar kelas dunia ( world class defense university ) dengan tetap melestarikan nilai-nilai kebangsaan. Universitas Pertahanan didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2011 dan ditetapkan melalui Surat Mendiknas Nomor 29/MPN/OT/2009 tanggal 6 Maret 2009 perihal Pendirian Unhan. Universitas Pertahanan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Maret 2009 di Istana Negara. Penyelenggaraan program studi di lingkungan Unhan merujuk kepada
Bandung Lautan Api
NAMA KELOMPOK :
1. NIKEN ENDIONITA
2. SELVIA ANGGREINI
3. DEWI RATNAWATI
4. MEGA AGUSTINA
5. QUMAIDAH F M F
PERISTIWA, TEMPAT DAN
TANGGAL KEJADIAN SERTA TOKOH
Peristiwa
Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang
terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946.
Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[1] membakar rumah
mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini
dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk
dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris
bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12
Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut
agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi,
diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp
tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan.
Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari.
Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan
perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian
utara, termasuk Hotel Homann
dan Hotel Preanger
yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan
ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh
penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia
(TRI, sebutan bagi TNI
pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi
"bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia
tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan
untuk membumihanguskan Bandung
diambil melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua
kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23
Maret 1946[2].
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion
selaku Komandan Divisi III TRI
mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[butuh rujukan] Hari itu juga, rombongan besar
penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu
pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat
setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai
markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di
udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga
pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot,
sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi
besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad
Toha
dan Ramdan,
dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk
menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang
tersebut dengan dinamit.
Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di
dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di
dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut
dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih
pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api
masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap
merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak
Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama
milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa
ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung
yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo,
Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang
para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk
kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Kesimpulan
Istilah Bandung Lautan Api menjadi
istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H
Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg
(sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari
pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di
Jakarta,
memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima
ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi
saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam
pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah,
disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia
berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia
sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air."-A.H Nasution, 1
Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula
di harian Suara Merdeka
tanggal 26
Maret 1946.
Seorang wartawan
muda saat itu, yaitu Atje Bastaman,
menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di
sekitar Pameungpeuk, Garut.
Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas
sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya,
Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng
Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".