Universitas Pertahanan atau biasa disebut dengan UNHAN ( bahasa Inggris : Indonesian Defense University atau IDU ) adalah sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang menyelenggarakan pendidikan vokasi , sarjana , dan pascasarjana di bidang pertahanan dan bela negara , dengan tujuan untuk melaksanakan pembangunan dan pengembangan yang berorientasi pada Tri Dharma perguruan tinggi , untuk mencapai standar pendidikan nasional dan universitas berstandar kelas dunia ( world class defense university ) dengan tetap melestarikan nilai-nilai kebangsaan. Universitas Pertahanan didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2011 dan ditetapkan melalui Surat Mendiknas Nomor 29/MPN/OT/2009 tanggal 6 Maret 2009 perihal Pendirian Unhan. Universitas Pertahanan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Maret 2009 di Istana Negara. Penyelenggaraan program studi di lingkungan Unhan merujuk kepada
Borobudur
Borobudur
|
|
Arca
Buddha dan stupa Borobudur
|
|
Lokasi
di dalam Indonesia
|
|
Informasi
umum
|
|
Gaya
arsitektur
|
|
Kota
|
Kecamatan
Borobudur, sekitar 3 km dari Kota
Mungkid (ibukota Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah)
|
Negara
|
|
Awal
konstruksi
|
sekitar
770 Masehi
|
Selesai
|
sekitar
825 Masehi
|
Klien
|
|
Detail
teknis
|
|
Sistem
struktur
|
piramida
berundak dari susunan blok batu andesit yang saling mengunci
|
Ukuran
|
luas
dasar 123×123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter (termasuk
chattra)
|
Desain
dan konstruksi
|
|
Arsitek
|
Borobudur
|
|
Tipe
|
Budaya
|
i, ii, vi
|
|
Nomor identifikasi
|
|
Tahun pengukuhan
|
1991 (sesi
ke-15)
|
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia.
Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di
sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta,
dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi berbentuk stupa
ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada
masa pemerintahan wangsa
Syailendra.
Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,H[1][2]
sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[3]
Monumen ini
terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya
terdapat 504 arca Buddha.[4]
Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.[3]
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini,
dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya
terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini
merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[5]
Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan
berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke
undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga
tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu
(ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang
terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut
bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[6]
Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat
itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian
situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[3]
Borobudur
kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh
Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam
dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang
paling banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9]
Nama Borobudur
Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh.
Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.
Dalam Bahasa
Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi
juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala
yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan
(kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[10]
meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[10]
Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.[11]
Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak
ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.[10]
Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan
suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama,
yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[12]
Nama Bore-Budur,
yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata
bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore
(Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa
tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin
berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti
"purba"– maka bermakna, "Boro purba".[10]
Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari
istilah bhudhara yang berarti gunung.[13]
Banyak teori yang berusaha
menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan
berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara)
di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi
rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan
lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara,
sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya
ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa
Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada
di tanah tinggi.
Sejarawan J.G.
de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa
Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri
Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra
bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa
itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān
yang disebut Bhūmisambhāra.[14]
Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti
tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur
dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra
dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh
tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[15]
Lingkungan sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis
lurus yang menunjukan kesatuan perlambang
Terletak
sekitar 40 kilometer (25 mi) barat laut dari Kota
Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling
dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing
di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi
di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat
di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta
candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai
Progo dan Sungai Elo di sebelah timur.
Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran
Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung
sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[16]
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919)
merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
Tidak
ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya.[21]
Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara
yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim
digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur
dibangun sekitar tahun 800 masehi.[21]
Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak
kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[22] yang
kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan
benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga
pada tahun 825.[23][24]
Terdapat
kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama
Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha
aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka
mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[23]
Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran
Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja
beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan
suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung
Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mi) sebelah timur dari Borobudur.[25]
Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan
candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur
diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal
sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan
sekitar tahun 850 M.
Arsitektur
Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut
Denah Borobudur membentuk Mandala, lambang
alam semesta dalam kosmologi Buddha.
Model Borobudur
Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu,
yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah".
Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk
memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur
tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini
tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan
sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur
batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000
meter kubik.[5]
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang
pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300
gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir
dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di
atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam
relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5]
Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan
peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling
rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya
dimahkotai stupika
(stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran
relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan
relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan
ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak
berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam
atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk
dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil
berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua
teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu
teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur
sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih
tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak
terlihat.
Tingkatan
tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa
stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang.
Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna
atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai
patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada
patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan
pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam
proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang
dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama
yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu
kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia sudah tidak
terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan
Arca singa penjaga gerbang
Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase
Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura
berukir Kala-Makara
Sekitar
55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk
membangun monumen ini.[53]
Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan
tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali,
melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa
menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang
tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang
mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan
dinding rampung.
Monumen ini
dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan
yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang
disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala
raksasa kala atau makara.
MUSEUM
DIRGANTARA JOGJAKARTA
SEJARAH MUSEUM
Museum TNI AU diresmikan pada tanggal 4 April 1969 oleh Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Rusmin Nuryadin berkedudukan di Makowilu V Tanah Abang Bukit, Jakarta.
Dengan pertimbangan antara lain bahwa Yogyakarta merupakan tempat
lahir dan pusat perjuangan TNI AU periode 1945-1949 serta tempat penggodokan
Karbol AAU, maka pada bulan November 1977 Museum AURI di Jakarta dipindahkan
dan diintegrasikan dengan Museum di Ksatrian AAU di Pangkalan Adisutjipto,
Yogyakarta, dan tanggal 29 Juli 1978 diresmikan sebagai Museum Pusat TNI AU
Dirgantara Mandala.
Mengingat semakin bertambahnya koleksi, maka pada tahun 1984
Museum dipindahkan ke Wonocatur menempati sebuah gedung bersejarah. Gedung
tersebut semasa penjajahan Belanda adalah sebuah pabrik gula dan pada waktu
pendudukan Jepang digunakan sebagai Depo Logistik. Pada bulan Oktober 1945 BKR
dan para pejuang kemerdekaan berhasil merebut Pangkalan Udara Maguwo (sekarang
Lanud Adisutjipto) dari tangan Jepang, termasuk segala unsur logistik dan
fasilitasnya yang kemudian digunakan sebagai unsur kekuatan awal TNI Angkatan
Udara.
KOLEKSI MUSEUM
Museum TNI AU memiliki lebih dari 10.000 koleksi komponen alutsista dan 40 pesawat terbang dari negara barat sampai timur, serta terdapat koleksi berupa diorama-diorama, foto-foto, lukisan-lukisan, tanda-tanda kehormatan, dan lain-lain yang disusun dan ditata berdasar kronologi peristiwa.
Museum TNI AU memiliki lebih dari 10.000 koleksi komponen alutsista dan 40 pesawat terbang dari negara barat sampai timur, serta terdapat koleksi berupa diorama-diorama, foto-foto, lukisan-lukisan, tanda-tanda kehormatan, dan lain-lain yang disusun dan ditata berdasar kronologi peristiwa.
(Koleksi pesawat antara lain) Pesawat WEL RI X merupakan produksi
pertama bangsa Indonesia yang dibuat pada tahun 1948 oleh Biro Rencana dan
Konstruksi, Seksi Percobaan Pembuatan Pesawat Terbang, Magetan, Madiun, dibawah
pimpinan Opsir Udara III (Kapten) Wiweko Supomo. Pesawat ini memakai mesin
Harley Davidson 2 Silinder model tahun 1928.
Pesawat Pembom Guntai direbut dari Jepang saat Belanda melancarkan
aksi blokade terhadap dirgantara Indonesia, pesawat buatan tahun 1930 ini
dengan penerbangnya Kadet Mulyono melaksanakan pemboman terhadap kedudukan
lawan di Semarang pada tanggal 29 Juli 1947.
Pesawat Jet Star merupakan pesawat kepresidenan hadiah dari
pemerintah Amerika Serikat kepada Presiden RI Soekarno, pernah digunakan dalam
kunjungan ke beberapa negara antara lain Malaysia, Singapura, Filipina,
Vietnam, dan Thailand.
Berbagai jenis pesawat pemburu, latih, dan angkut periode
1950-1965.
Diorama Sekbang I Taloa, Amerika Serikat, Sekbang India, Sekbang
Andir, dan Sekolah Perwira Teknik Udara.
MONUMEN PERJUANGAN TNI AU
Monumen Perjuangan TNI AU dahulu disebut Monumen Ngoto dibangun oleh AURI pada tanggal 1 Maret 1948. Maksud dibangunnya monumen ini adalah untuk mengenang dan memperingati peristiwa jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA akibat serangan dua pesawat pemburu Kitty Hawk Belanda pada tanggal 29 Juli 1947. Dalam peristiwa ini tiga tokoh perintis TNI AU gugur, diantaranya Marsda TNI (Anumerta) Agustinus Adisutjipto, Marsda TNI (Anumerta) Prof.Dr.Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara I (Anumerta) Adisumarmo Wiryokusumo.
Monumen Perjuangan TNI AU dahulu disebut Monumen Ngoto dibangun oleh AURI pada tanggal 1 Maret 1948. Maksud dibangunnya monumen ini adalah untuk mengenang dan memperingati peristiwa jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA akibat serangan dua pesawat pemburu Kitty Hawk Belanda pada tanggal 29 Juli 1947. Dalam peristiwa ini tiga tokoh perintis TNI AU gugur, diantaranya Marsda TNI (Anumerta) Agustinus Adisutjipto, Marsda TNI (Anumerta) Prof.Dr.Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara I (Anumerta) Adisumarmo Wiryokusumo.
Monumen ini pernah dua kali mengalami pemugaran, yang pertama pada
bulan Juli 1981 saat Kasau dijabat oleh Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi dan yang
kedua berdasarkan Skep Kasau nomor Skep/78/VII/2000 Kasau dijabat oleh Marsekal
TNI Hanafie Asnan, dan pada saat itu Monumen Ngoto diubah menjadi Monumen
Perjuangan TNI AU. Pemberian nama tersebut adalah agar para prajurit-prajurit
TNI AU dapat mengambil teladan tentang semangat juang, semangat berbakti,
pengorbanan dan kepahlawanan mereka. Peristiwa jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA
pada tanggal 29 Juli 1947 oleh TNI Angkatan Udara dijadikan momentum sebagai
Hari Bhakti TNI Angkatan Udara, sehingga tanggal 29 Juli tiap tahunnya selalu
diperingati.
Pesawat Dakota VC-CLA milik perusahaan penerbangan India yang
dicarter untuk mengangkut sumbangan obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia,
yang ditembak jatuh oleh dua pesawat pemburu Kitty Hawk Belanda saat akan
mendarat di PU Maguwo.
Sumber: Brosur ‘Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala Dalam
Informasi’
Alamat:
MUSEUM PUSAT TNI AU DIRGANTARA MANDALA
Lanud Adisutjipto
Yogyakarta
Telp. 0274 – 484 453
http://dirgantara.museumjogja.org/id
Jam Kunjungan:
Senin – Minggu 08.30 – 15.00
Senin – Minggu 08.30 – 15.00
Tiket:
Perorangan Rp 3000
Rombongan (30 orang) Rp 2000
Perorangan Rp 3000
Rombongan (30 orang) Rp 2000
Jl. MALIOBORO JOGJAKARTA
Dalam bahasa Sansekerta, kata “malioboro”
bermakna karangan bunga. itu mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika
Keraton mengadakan acara besar maka jalan malioboro akan dipenuhi dengan bunga.
Kata malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama
“Marlborough” yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M. pendirian
jalan malioboro bertepatan dengan pendirian keraton Yogyakarta (Kediaman
Sultan).
Perwujudan awal yang merupakan bagian dari konsep
kota di Jawa, Jalan malioboro ditata sebagai sumbu imaginer utara-selatan yang
berkorelasi dengan Keraton ke Gunung merapi di bagian utara dan laut Selatan
sebagai simbol supranatural. Di era kolonial (1790-1945) pola perkotaan itu
terganggu oleh Belanda yang membangun benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan
jalan Malioboro. Selain membangun benteng belanda juga membangun Dutch
Club (1822), the Dutch Governor’s Residence (1830), Java Bank dan kantor
Pos untuk mempertahankan dominasi mereka di Yogyakarta. Perkembangan pesat
terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh perdaganagan antara orang belanda
dengan orang cina. Dan juga disebabkan adanya pembagian tanah di sub-segmen
Jalan Malioboro oleh Sultan kepada masyarakat cina dan kemudian dikenal
sebagagai Distrik Cina.
Perkembangan
pada masa itu didominasi oleh Belanda dalam membangun fasilitas untuk
meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, Seperti pembangunan stasiun
utama (1887) di Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membagi jalan
menjadi dua bagian. Sementara itu, jalan Malioboro memiliki peranan
penting di era kemerdekaan (pasca-1945), sebagai orang-orang Indonesia berjuang
untuk membela kemerdekaan mereka dalam pertempuran yang terjadi Utara-Selatan sepanjang
jalan.
Sekarang
ini merupakan jalan pusat kawasan wisatawan terbesar di Yogyakarta, dengan
sejarah arsitektur kolonial Belanda yang dicampur dengan kawasan komersial Cina
dan kontemporer. Trotoar di kedua sisi jalan penuh sesak dengan warung-warung
kecil yang menjual berbagai macam barang dagangan. Di malam hari beberapa
restoran terbuka, disebut lesehan, beroperasi sepanjang jalan. Jalan itu selama
bertahun-tahun menjadi jalan dua arah, tetapi pada 1980-an telah menjadi salah
satu arah saja, dari jalur kereta api ke selatan sampai Pasar Beringharjo.
Hotel jaman Belanda terbesar dan tertua jaman itu, Hotel Garuda, terletak di
ujung utara jalan di sisi Timur, berdekatan dengan jalur kereta api. Juga
terdapat rumah kompleks bekas era Belanda, Perdana Menteri, kepatihan yang kini
telah menjadi kantor pemerintah provinsi.
Malioboro juga
menjadi sejarah perkembangan seni sastra Indonesia. Dalam Antologi Puisi
Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku
tersebut, buku yang berisi 110 penyair yang pernah tinggal di yogyakarta selama
kurun waktu lebih dari setengah abad. Pada tahun 1970-an, Malioboro tumbuh
menjadi pusat dinamika seni budaya Jogjakarta. Jalan Malioboro menjadi
‘panggung’ bagi para “seniman jalanan” dengan pusatnya gedung Senisono. Namun
daya hidup seni jalanan ini akhirnya terhenti pada 1990-an setelah gedung
Senisono ditutup.
Taman Pintar Yogyakarta
Sejarah
Sejak
terjadinya ledakan perkembangan sains sekitar tahun 90-an, terutama Teknologi
Informasi, pada gilirannya telah menghantarkan peradaban manusia menuju era
tanpa batas. Perkembangan sains ini adalah sesuatu yang patut disyukuri dan
tentunya menjanjikan kemudahan-kemudahan bagi perbaikan kualitas hidup manusia.
Menghadapi
realitas perkembangan dunia semacam itu, dan wujud kepedulian terhadap
pendidikan, maka Pemerintah Kota Yogyakarta menggagas sebuah ide untuk
Pembangunan "Taman Pintar". Disebut "Taman Pintar", karena
di kawasan ini nantinya para siswa, mulai pra sekolah sampai sekolah menengah
bisa dengan leluasa memperdalam pemahaman soal materi-materi pelajaran yang
telah diterima di sekolah dan sekaligus berekreasi. Dengan Target Pembangunan
Taman Pintar adalah memperkenalkan science kepada siswa mulai dari dini,
harapan lebih luas kreatifitas anak didik terus diasah, sehingga bangsa
Indonesia tidak hanya menjadi sasaran eksploitasi pasar teknologi belaka,
tetapi juga berusaha untuk dapat menciptakan teknologi sendiri.
Bangunan
Taman Pintar ini dibangun di eks kawasan Shopping Center, dengan pertimbangan
tetap adanya keterkaitan yang erat antara Taman Pintar dengan fungsi dan
kegiatan bangunan yang ada di sekitarnya, seperti Taman Budaya, Benteng
Vredeburg, Societiet Militer dan Gedung
Agung. Relokasi area mulai dilakukan pada tahun 2004, dilanjutkan dengan
tahapan
- Pembangunan Tahap I adalah Playground dan Gedung PAUD Barat serta PAUD Timur, yang diresmikan dalam Soft Opening I tanggal 20 Mei 2006 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo.
- Pembangunan Tahap II adalah Gedung Oval lantai I dan II serta Gedung Kotak lantai I, yang diresmikan dalam Soft Opening II tanggal 9 Juni 2007 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo, bersama Menristek, Kusmayanto Kadiman, serta dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
- Pembangunan Tahap III adalah Gedung Kotak lantai II dan III, Tapak Presiden dan Gedung Memorabilia.
Dengan
selesainya tahapan pembangunan, Grand Opening Taman Pintar dilaksanakan pada
tanggal 16 Desember 2008 yang diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Logo Taman Pintar
Kembang api
adalah simbolisasi dari intelegensi dan imajinasi. Dalam bahasa Jawa, kembang
api menggambarkan MLETHIK = PINTAR = PADHANG MAK BYAAR = PINTAR.
Kembang api merupakan sesuatu yang menyenangkan, menghibur, sesuai dengan visi
Taman Pintar sebagai wahana ekspresi, apresiasi dan kreasi sains dalam suasana
yang menyenangkan.
Gambar logo
yang muncul ke luar mengandung makna Outward Looking, selalu melihat ke
luar untuk terus belajar mengikuti dinamika perubahan di luar dirinya. Gambar
logo tampak seperti matahari mengandung makna menyinari sepanjang masa. Jari
jemari kembang api melambangkan keselarasan antara INTELEGENSI dan SOCIAL
LIFE, diharapkan pengguna Taman Pintar mempunyai IQ, SQ, dan EQ.
Efek
perspektif adalah simbolisasi "sesuatu yang tinggi", CITA-CITA,
pengharapan bahwa Taman Pintar akan membantu generasi muda Indonesia, khususnya
Yogyakarta dalam meraih cita-citanya. Miring ke kanan sebagai visualisasi
pergerakan ke arah yang lebih baik. Warna gabungan HIJAU-BIRU melambangkan PERTUMBUHAN
TAK TERBATAS.
Zona
- Playground
Sebagai ruang publik dan penyambutan bagi pengunjung
Taman Pintar. Menyediakan berbagai peralatan peraga yang menyenangkan bagi anak
dan keluarga. Dapat diakses secara cuma-cuma/gratis
- Gedung PAUD Barat dan Gedung PAUD Timur
Menampilkan peralatan peraga dan permainan edukasi
bagi anak-anak, khususnya anak usia Pra-TK sampai dengan TK.
- Gedung Oval - Kotak
Menampilkan berbagai peralatan peraga berbasis edukasi
sains yang dikemas menyenangkan dan dapat diperagakan. Dapat diakses oleh semua
lapisan pengunjung.
- Gedung Memorabilia
Menampilkan peralatan peraga tentang pengetahuan
sejarah Indonesia, seperti sejarah Kasultanan dan Paku Alaman Yogyakarta,
Tokoh-tokoh Pendidikan, dan Tokoh-tokoh Presiden RI hingga saat ini
- Planetarium
Menampilkan peralatan peraga berbentuk pertunjukan
film pengetahuan tentang antariksa dan tata surya