Universitas Pertahanan atau biasa disebut dengan UNHAN ( bahasa Inggris : Indonesian Defense University atau IDU ) adalah sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang menyelenggarakan pendidikan vokasi , sarjana , dan pascasarjana di bidang pertahanan dan bela negara , dengan tujuan untuk melaksanakan pembangunan dan pengembangan yang berorientasi pada Tri Dharma perguruan tinggi , untuk mencapai standar pendidikan nasional dan universitas berstandar kelas dunia ( world class defense university ) dengan tetap melestarikan nilai-nilai kebangsaan. Universitas Pertahanan didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2011 dan ditetapkan melalui Surat Mendiknas Nomor 29/MPN/OT/2009 tanggal 6 Maret 2009 perihal Pendirian Unhan. Universitas Pertahanan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Maret 2009 di Istana Negara. Penyelenggaraan program studi di lingkungan Unhan merujuk kepada
NAMA
: RIA NUR KHOLIDAH
KELAS/ SMT : 0 / 1
NIM : 931357615
INTI SARI ULUMUL QUR’AN
“TERJEMAH DAN TAKWIL”
A.
TERJEMAH
AL-QUR’AN
1. Pengertian Terjemah Al – Qur’an
Pengertian terjemahan dapat
diformulasikan bahwa terjemah pada dasarnya ialah menyalin atau mengalih bahasakan
serangkaian pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, dengan maksud
supaya inti pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami oleh orang
– orang yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal yang diterjemahkan.
2. Macam – macam terjemahan Al – Qur’an
Terjemahan dapat dibagi
menjadi dua macam :
1. Terjemah harfiyah
Yaitu mengalihkan lafazh-lafazh dari satu bahasa ke dalam
lafazh-lafazh yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga sesunan dan
tertib
bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Selain itu
diartikan pula dengan menerjemahkan Al-Qur’an dengan mufradat ( kosa
kata ), jumlah maupun tarkib nya, sebagai dasar penerjemahannya ke dalam
bahasa Inggris, Spanyol, Perancis, dan lain-lain.
2. Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah,
yaitu menjelaskan makna
pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengann tertib kata-kata bahasa
asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
3.
Syarat – syarat terjemahan dan penerjemahan
Baik
terjemah harfiyyah maupun tafsiriyyah mempunyai syarat – syarat
yang bisa kami ringkas sebagai berikut :
1. Penerjemah harus mengetahui dua bahasa sekaligus, bahasa asli
(yang diterjemahan) dan bahasa terjemah.
2. Penerjemah harus mengetahui uslub – uslub serta ciri khas
bahasa yang hendak diterjemahan.
3. Hendaknya sighat (bentuk) terjemah itu benar dan apabila
dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya tidak terdapat kesalahan.
4. Terjemahan itu harus dapat mewakili semua arti dan maksud bahasa
asli dengan lengkap dan sempurna.
5. Memiliki kelenturan kognitif dan kelenturan kultural.
6. Menguasai teori penerjemahan.
7. Memiliki sarana penerjemahan berupa kamus, ensiklopedi, dan referensi
pendukung lainnya.
4.
Proses Penerjemahan
Pada umumnya, proses
penerjemahan dilakukan dengan empat tahap seperti berikut.
Pertama, analisis
dan pemahaman. Struktur lahir dan pesan yang terkandung dalam nas sumber
dianalisis menurut hubungan struktural dan hubungan semantis antara unsur-unsur
sintaktis.
Kedua, transfer.
Selanjutnya bahan yang sudah dianalisis dan dipahami diolah oleh penerjemah
secara mentalistik, lalu dialihkan ke bahasa penerima.
Ketiga, restrukturisasi.
Bahan yang sudah diolah tersebut disusun kembali supaya makna atau pesan yang
dihasilkan benar-benar sesuai dengan gaya bahasa penerima.
Keempat, evaluasi
dan revisi. Kemudian hasil terjemahan dievaluasi. Jika terdapat kesalahan atau
kekeliruan, maka dilakukan revisi.
5. Hukum terjemah Al – Qur’an
Secara konsep terjemah
Syaikh Abdul ‘Alim Az-Zarqani
mengemukakan bahwa hukum menerjemahkan nas Alquran mengikuti pengertian
terjemah itu sendiri. Hukum-hukumnya dapat dikemukakan seperti berikut :
Pertama, penerjemahan
Alquran dengan makna menyampaikan Alquran itu sendiri. Hukum menerjemahkan semacam
ini dibolehkan syariat (jâ`iz).
Kedua, menerjemahkan
Alquran dengan makna menafsirkannya dengan bahasa Arab. Artinya menafsirkan
Alquran dengan bahasa Arab, bukan dengan bahasa lain.
Ketiga, menerjemahkan
Alquran dengan makna menafsirkannya dengan bahasa asing, bukan bahasa Arab.
6. Hukum
syari’at dan Teori terjemah
Terjemahan itu harus berdiri sendiri,
tidak memerlukan kehadiran nas sumber, dan dapat menggantikan nas tersebut.
Karena itu, tidak lagi dikenal mana nas sumber dan mana terjemahan. Ringkasnya,
terjemahan itu harus otonom.
Kami menggaris besarkan
bahwa menerjemahkan Al – Qur’an diperbolehkan atau tidaknya sesuai dengan jenis
cara menerjemahkannya. Terjemah harfiyyah itu tidak diperbolehkan dan tidak
dibenarkan. Hal ini karena sebab – sebab sebagai berikut:
1. Tidak diperbolehkan menulis Al – Qur’an menggunakan huruf selain
Arab.
2. Sesungguhnya bahasa – bahasa selain bahasa arab tidak mempunyai
lafal – lafal, mufradat – mufradat dan dhamir – dhamir yang bisa
menempati lafal – lafal bahasa Arab.
3. Dengan cara meringkas dari segi lafal – lafalnya saja dapat
merusakkan makna yang menyebabkan ketidakruntutan ta’bir dan susunannya.
Terjemah tafsiriyyah, diperbolehkan manakala memenuhi
syarat – syarat seperti diatas. Namun perlu diingat bahwa terjemah itu tidak
bisa dinamakan Al-Qur’an, melainkan hanya disebut tafsir Al-Qur’an. Karena
Allah SWT akan menghitung kita beribadah dengan membaca lafal – lafal
Al-Qur’an, namun tidak menganggap kita beribadah dengan membaca kalam lain.
B. TA’WIL
1.
Definisi
Ta’wil
Kata Ta’wil secara
harfiyah diambil dari kata “aul”, yang bermakna kembali dan berpaling.
Dilafadhkan dengan shighat Ta’wil untuk memfaedahkan ta’diyah ( supaya
berarti mengembalikan ). Ada juga yang mengatakan, diambil dari kata “ail”
yang berarti “memalingkan”, yakni : memalingkan ayat dari makna yang dhahir
kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya.
Sedangkan secara istilah
menurut peristilahan syara’ yang dikemukakan ulama ushul fiqih, kata Ta’wil
mempunyai makna yang berbeda dengan tafsir dan hanya berkisar pada makna suatu
lafadh itu sendiri. Artinya, apabila terdapat beberapa kemungkinan makna dalam
suatu lafadh maka yang diambil adalah makna yang tersembunyi, bukan makna yang
zhahir ( yang langsung bisa ditangkap dari lafadh tersebut).
2. Syarat-syarat ta’wil
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhabir dan lafaz hash
serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil-kan karena lafaz
tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wail.
Serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil
seperti :
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan
kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dahlil
yang lebih tinggi dari dalil itu.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya. Contohnya:
suatu lafaz dalam bentuk zhabir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada
makna menyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafaz itu merupakan suatu nash
untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar. Dalam semua bentuk
itu berlakulah ta’wil.
4. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dahlil dan tidak bertentangan
dengan dahlil yang ada.
3.Persamaan
dan perbedaan antara Terjemahan, Ta’wil, dan Tafsir
·
Persamaan
dari Terjemahan, Ta’wil, dan Tafsir
a. Ketiganya menerangkan makna ayat – ayat Al - Qur’an.
b. Ketiganya sebagai sarana untuk memahami Al – Qur’an.
·
Perbedaan
dari Terjemahan, Ta’wil, dan Tafsir
a. Tafsir : Menjelaskan makna ayat yang kadang – kadang dengan
panjang lebar, lengkap dengan penjelasan hukum – hukum dan hikmah yang dapat
diambil dari ayat itu dan sering kali disertai dengan kesimpulan kandungan
dengan ayat tersebut.
b. Ta’wil : Mengalihkan lafadz – lafadz ayat Al – Qur’an dari arti
yang lahir dan rajih kepada arti lain yang samar dan marjuh.
c. Terjemah : Hanya mengubah kata – kata dari bahasa arab ke dalam
bahasa lain tanpa memberikan penjelasan arti kandungan secara panjang lebar dan
tidak menyimpulkan dari isi kandungannya.