Selasa, 15 Desember 2015

Intisari Ulumul Quran "Terjemah dan Takwil"



NAMA : RIA NUR KHOLIDAH
KELAS/ SMT : 0 / 1
NIM : 931357615
INTI SARI ULUMUL QUR’AN
“TERJEMAH DAN TAKWIL”
A.    TERJEMAH AL-QUR’AN
1.      Pengertian Terjemah Al – Qur’an
Pengertian terjemahan dapat diformulasikan bahwa terjemah pada dasarnya ialah menyalin atau mengalih bahasakan serangkaian pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, dengan maksud supaya inti pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami oleh orang – orang yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal yang diterjemahkan.
2.      Macam – macam terjemahan Al – Qur’an
Terjemahan dapat dibagi menjadi dua macam :
1.      Terjemah harfiyah
Yaitu mengalihkan lafazh-lafazh dari satu bahasa ke dalam lafazh-lafazh yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga sesunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Selain itu diartikan pula dengan menerjemahkan Al-Qur’an dengan mufradat ( kosa kata ), jumlah maupun tarkib nya, sebagai dasar penerjemahannya ke dalam bahasa Inggris, Spanyol, Perancis, dan lain-lain.
2.      Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah,
yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengann tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
3.         Syarat – syarat terjemahan dan penerjemahan
Baik terjemah harfiyyah maupun tafsiriyyah mempunyai syarat – syarat yang bisa kami ringkas sebagai berikut :
1.      Penerjemah harus mengetahui dua bahasa sekaligus, bahasa asli (yang diterjemahan) dan bahasa terjemah.
2.      Penerjemah harus mengetahui uslub – uslub serta ciri khas bahasa yang hendak diterjemahan.
3.      Hendaknya sighat (bentuk) terjemah itu benar dan apabila dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya tidak terdapat kesalahan.
4.      Terjemahan itu harus dapat mewakili semua arti dan maksud bahasa asli dengan lengkap dan sempurna.
5.      Memiliki kelenturan kognitif dan kelenturan kultural.
6.      Menguasai teori penerjemahan.
7.      Memiliki sarana penerjemahan berupa kamus, ensiklopedi, dan referensi pendukung lainnya.
4.         Proses Penerjemahan
Pada umumnya, proses penerjemahan dilakukan dengan empat tahap seperti berikut.
Pertama, analisis dan pemahaman. Struktur lahir dan pesan yang terkandung dalam nas sumber dianalisis menurut hubungan struktural dan hubungan semantis antara unsur-unsur sintaktis.
Kedua, transfer. Selanjutnya bahan yang sudah dianalisis dan dipahami diolah oleh penerjemah secara mentalistik, lalu dialihkan ke bahasa penerima.
Ketiga, restrukturisasi. Bahan yang sudah diolah tersebut disusun kembali supaya makna atau pesan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan gaya bahasa penerima.
Keempat, evaluasi dan revisi. Kemudian hasil terjemahan dievaluasi. Jika terdapat kesalahan atau kekeliruan, maka dilakukan revisi.

5. Hukum terjemah Al – Qur’an
Secara konsep terjemah
Syaikh Abdul ‘Alim Az-Zarqani mengemukakan bahwa hukum menerjemahkan nas Alquran mengikuti pengertian terjemah itu sendiri. Hukum-hukumnya dapat dikemukakan seperti berikut :
Pertama, penerjemahan Alquran dengan makna menyampaikan Alquran itu sendiri. Hukum menerjemahkan semacam ini dibolehkan syariat (jâ`iz).
Kedua, menerjemahkan Alquran dengan makna menafsirkannya dengan bahasa Arab. Artinya menafsirkan Alquran dengan bahasa Arab, bukan dengan bahasa lain.
Ketiga, menerjemahkan Alquran dengan makna menafsirkannya dengan bahasa asing, bukan bahasa Arab.
6.    Hukum syari’at dan Teori terjemah
Terjemahan itu harus berdiri sendiri, tidak memerlukan kehadiran nas sumber, dan dapat menggantikan nas tersebut. Karena itu, tidak lagi dikenal mana nas sumber dan mana terjemahan. Ringkasnya, terjemahan itu harus otonom.
Kami menggaris besarkan bahwa menerjemahkan Al – Qur’an diperbolehkan atau tidaknya sesuai dengan jenis cara menerjemahkannya. Terjemah harfiyyah itu tidak diperbolehkan dan tidak dibenarkan. Hal ini karena sebab – sebab sebagai berikut:
1.      Tidak diperbolehkan menulis Al – Qur’an menggunakan huruf selain Arab.
2.      Sesungguhnya bahasa – bahasa selain bahasa arab tidak mempunyai lafal – lafal, mufradat – mufradat dan dhamir – dhamir yang bisa menempati lafal – lafal bahasa Arab.
3.      Dengan cara meringkas dari segi lafal – lafalnya saja dapat merusakkan makna yang menyebabkan ketidakruntutan ta’bir dan susunannya.
Terjemah tafsiriyyah, diperbolehkan manakala memenuhi syarat – syarat seperti diatas. Namun perlu diingat bahwa terjemah itu tidak bisa dinamakan Al-Qur’an, melainkan hanya disebut tafsir Al-Qur’an. Karena Allah SWT akan menghitung kita beribadah dengan membaca lafal – lafal Al-Qur’an, namun tidak menganggap kita beribadah dengan membaca kalam lain.

B.     TA’WIL
1.         Definisi Ta’wil
Kata Ta’wil secara harfiyah diambil dari kata “aul”, yang bermakna kembali dan berpaling. Dilafadhkan dengan shighat Ta’wil untuk memfaedahkan ta’diyah ( supaya berarti mengembalikan ). Ada juga yang mengatakan, diambil dari kata “ail” yang berarti “memalingkan”, yakni : memalingkan ayat dari makna yang dhahir kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya.
Sedangkan secara istilah menurut peristilahan syara’ yang dikemukakan ulama ushul fiqih, kata Ta’wil mempunyai makna yang berbeda dengan tafsir dan hanya berkisar pada makna suatu lafadh itu sendiri. Artinya, apabila terdapat beberapa kemungkinan makna dalam suatu lafadh maka yang diambil adalah makna yang tersembunyi, bukan makna yang zhahir ( yang langsung bisa ditangkap dari lafadh tersebut).
2. Syarat-syarat ta’wil
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhabir dan lafaz hash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil-kan karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wail. Serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti :
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dahlil yang lebih tinggi dari dalil itu.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya. Contohnya: suatu lafaz dalam bentuk zhabir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk nash.
 c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar. Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wil.
4. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dahlil dan tidak bertentangan dengan dahlil yang ada.
3.Persamaan dan perbedaan antara Terjemahan, Ta’wil, dan Tafsir
·         Persamaan dari Terjemahan, Ta’wil, dan Tafsir
a.       Ketiganya menerangkan makna ayat – ayat Al - Qur’an.
b.      Ketiganya sebagai sarana untuk memahami Al – Qur’an.
·         Perbedaan dari Terjemahan, Ta’wil, dan Tafsir
a.       Tafsir : Menjelaskan makna ayat yang kadang – kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan penjelasan hukum – hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan sering kali disertai dengan kesimpulan kandungan dengan ayat tersebut.
b.      Ta’wil : Mengalihkan lafadz – lafadz ayat Al – Qur’an dari arti yang lahir dan rajih kepada arti lain yang samar dan marjuh.
c.       Terjemah : Hanya mengubah kata – kata dari bahasa arab ke dalam bahasa lain tanpa memberikan penjelasan arti kandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan dari isi kandungannya.




Label: , ,