Jawa Tengah adalah
sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau
Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah
barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di
sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut
Jawa di sebelah utara. Luas wilayah nya 32.548 km², atau sekitar 25,04%
dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau
Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa
Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Pengertian Jawa
Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai
"jantung" budaya Jawa. Meskipun demikian di provinsi ini ada
pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa
seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Selain ada pula
warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia
yang tersebar di seluruh provinsi ini.
Suku
Mayoritas penduduk Jawa
Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal sebagai pusat budaya
Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat
pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini. Suku minoritas
yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan
meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya mereka bergerak di
bidang perdagangan dan jasa. Komunitas Tionghoa sudah berbaur dengan Suku Jawa,
dan banyak di antara mereka yang menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang
kental sehari-harinya. Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa
Tengah ditemukan pula komunitas Arab-Indonesia. Mirip dengan komunitas
Tionghoa, mereka biasanya bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Di
daerah perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula orang Sunda yang
sarat akan budaya Sunda, terutama di wilayah Cilacap, Brebes, dan Banyumas. Di
pedalaman Blora (perbatasan dengan provinsi Jawa Timur) terdapat
komunitas Samin yang terisolir, yang kasusnya hampir sama
dengan orang Kanekes di Banten.
Bahasa
Meskipun Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar
menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa
Dialek Solo-Jogja dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar. Di samping
itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa; namun secara umum terdiri dari dua,
yakni kulonan dan timuran. Kulonan dituturkan di bagian
barat Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini
memiliki pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar.
Sedang Timuran dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, di antaranya
terdiri atas Dialek Solo, Dialek Semarang. Di antara perbatasan kedua dialek
tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan campuran kedua dialek; daerah tersebut
di antaranya adalah Pekalongan dan Kedu. Di wilayah-wilayah berpopulasi
Sunda, yaitu di Kabupaten Brebes bagian selatan, dan kabupaten
Cilacap utara sekitar kecamatan Dayeuhluhur, orang Sunda masih menggunakan
bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-harinya.
Berbagai macam dialek yang
terdapat di Jawa Tengah:
1.
dialek Pekalongan
2.
dialek Kedu
3.
dialek Bagelen
4.
dialek Semarang
5.
dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6.
dialek Blora
7.
dialek Surakarta
8.
dialek Yogyakarta
9.
dialek Madiun
10.
dialek Banyumasan (Ngapak)
11. dialek Tegal-Brebes
Agama
Sebagian besar penduduk
Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas tetap mempertahankan
tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan. Agama
lain yang dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu , Budha, Kong Hu
Cu, dan puluhan aliran kepercayaan. Penduduk Jawa Tengah dikenal dengan sikap
tolerannya. Sebagai contoh di daerah Muntilan, kabupaten
Magelang banyak dijumpai penganut agama Katolik, dan dulunya daerah ini
merupakan salah satu pusat pengembangan agama Katolik di Jawa. Provinsi Jawa
Tengah merupakan provinsi dengan populasi Kristen terbesar di Indonesia.
GAMELAN JAWA
Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang
digubah oleh Sunan Bonang, guna mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental
(Alam Malakut)”Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini
tembang tersebut masih dinyanyikan dengan nilai ajaran Islam, juga pada
pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan dan acara ritual budaya
Keraton.
WAYANG
KULIT
Kesenian
wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di
Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan Kesenian
wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa
dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Menurut Kitab Centini, tentang
asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali
diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sekitar abad
ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan
digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari
gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita
Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa
Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau
titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah
Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
KERIS JAWA
Keris dikalangan masyarakat di jawa
dilambangkan sebagai symbol “ Kejantanan “ dan terkadang apabila karena suatu
sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia
diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka. Di kalender masyarakat
jawa mengirabkan pusaka unggulan keraton merupakan kepercayaan terbesar pada
hari satu sura. Keris pusaka atau tombak pusaka merupakan unggulan itu
keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsure besi baja, besi, nikel,
bahkan dicampur dengan unsure batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga
kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada sang
maha pencipta alam ( Allah SWT ) dengan duatu apaya spiritual oleh sang empu.
Sehingga kekuatan spiritual sang maha pencipta alam itu pun dipercayai orang
sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak
lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu.
UKIRAN
ASLI JEPARA
Para pengukir jepara
pandai menyesuaikan diri dengan gaya ukiran baru. Mereka tidak hanya membuat
gaya ukiran khas Jepara saja tapi ukiran lainnya yang tak kalah menarik.
Meskipun ukiran Jepara beragam, sebaiknya kita tidak melupakan gaya ukiran khas
Jepara. Biasanya disebut ornamen Jepara. Meskipun tak ada sebutan khusus, tapi
ia dapat dikenali dari ciri khasnya. Ukiran Jepara mengambil bentuk dedaunan.
Ada yang mengatakan itu adalah daun tanaman wuni. Wuni adalah jenis rerumputan
liat yang banyak tumbuh di Jepara. Tanaman itu memiliki buah
kecil-kecil yang digemari burung. Bentuk tanaman wuni itu diolah seniman ukir
menjadi bentuk desain ukiran yang indah. Ciri khas ukiran itu, daunnya
digambarkan melengkung-lengkung luwes. Seolah ada iramanya. Ujung daunnya
runcing. Buah-buah kecil diukir menggerombol. Kadang, ditambahkan ukiranburung
yang hendak mematuk buah itu. Ukiran gaya Jepara ini dulu banyak diukirkan pada
peti-peti kayu. Meja kursi juga ada. Tapi, sekarang jarang diukirkan pada
meubel lagi.
BOGANA
ASLI TEGAL
Di Jawa, Nasi
Bogana biasanya disajikan pada saat acara-acara tertentu, seperti pesta
perkawinan atau peringatan-peringatan lainnya. Tapi, umumnya makanan ini sering juga disajikan saat acara kumpul
keluarga atau acara-acara arisan. Dalam
acara pesta perkawinan, Nasi Bogana disajikan secara terpisah.
KIRAB
SERIBU APEM
Kirab apem sewu adalah acara ritual syukuran masyarakat
Kampung Sewu, Solo, Jawa Tengah yang digelar setiap bulan haji (bulan
Zulhijah-kalender penanggalan Islam).
Ritual
syukuran itu diadakan untuk mengenalkan Kampung Sewu sebagai sentra produksi
apem kepada seluruh masyarakat sekaligus menghargai para pembuat apem yang ada
di sana. Selain itu, upacara ritual syukuran ini pun dibuat
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena desa dan tempat tinggal mereka
terhindar dari bencana. Mengapa begitu? Menurut Ketua Pelaksana Kirab Apem
Sewu, Pak Hadi Sutrisno, letak Kampung Sewu Solo ini adanya di pinggir Sungai
Bengawan Solo, termasuk daerah rawan banjir. Makanya, masyarakat mensyukurinya.
Tradisi apam sewu berawal dari amanah yang disampaikan Ki Ageng Gribig kepada
seluruh warga untuk membuat 1.000 kue apam dan membagikannya kepada masyarakat
sebagai wujud rasa syukur. Sejalan dengan berkembangnya zaman, maka ritual kirab
apem sewu ini diawali dengan kirab budaya warga Solo yang memakai pakaian adat
Solo, seperti kebaya, tokoh punakawan, dan kostum pasukan keraton. Anak-anak
sekolah juga menjadi peserta kirab dengan menampilkan marching band SD, atraksi
Liong (naga), serta aneka pertunjukan tarian tradisional dan teater. 1.000 kue
apem yang sudah disusun menjadi gunungan itu diarak dari lapangan Kampung Sewu
menuju area sekitar kampung sepanjang dua kilometer. Acara kirab berlangsung
selama satu hari, yang dimulai dengan prosesi penyerahan bahan makanan (uba
rampe) pembuat kue apam dari tokoh masyarakat Solo kepada sesepuh Kampung Sewu
di Lapangan Kampung Sewu, Solo.
TEDHAK
SITEN
Tedhak Siten merupakan
bagian dari adat dan tradisi masyarakat Jawa Tengah. Upacara ini dilakukan
untuk adik kita yang baru pertama kali belajar berjalan.
Upacara
Tedhak Siten selalu ditunggu-tunggu oleh orangtua dan kerabat keluarga Jawa
karena dari upacara ini mereka dapat memperkirakan minat dan bakat adik kita
yang baru bisa berjalan. Tedak Siten berasal dari dua kata dalam bahasa
Jawa, yaitu “tedhak” berarti ‘menapakkan kaki’ dan “siten” (berasal dari kata
‘siti’) yang berarti ‘bumi’.
Upacara ini dilakukan ketika seorang bayi berusia tujuh bulan dan mulai belajar
duduk dan berjalan di tanah. Secara keseluruhan, upacara ini dimaksudkan agar
ia menjadi mandiri di masa depan. Dalam pelaksanaannya, upacara ini
dihadiri oleh keluarga inti (ayah, ibu, kakek, dan nenek), serta kerabat
keluarga lainnya. Mereka hadir untuk turut mendoakan agar adik kita terlindung
dari gangguan setan.
Tak hanya ritualnya saja yang penting, persyaratannya pun penting dan harus
disiapkan oleh orangtua yang menyelenggarakan Tedhak Siten ini, seperti
kurungan ayam, uang, buku, mainan, alat musik, dll.
Selain itu ada pula ada tangga yang terbuat dari tebu, makanan-makanan (sajen),
yang terdiri dari bubur merah, putih, jadah 7 warna, (makanan yang terbuat dari
beras ketan), bubur boro-boro (bubur yg terbuat dari bekatul-serbuk halus atau
tepung yang diperoleh setelah padi dipisahkan dari bulirnya), dan jajan pasar.
Ritual Upacara Tedhak Siten:
Tahap 1:
Adik kita dipandu oleh ayah dan ibu berjalan melalui 7 wadah berisi 7 jadah
berwarna. Jadah adalah simbol dari proses kehidupan yang akan dilalui adik
kita.
Tahap 2:
Lalu, adik akan diberi tangga yang terbuat dari tebu. Tangga ini menyimbolkan
urutan tingkatan kehidupan di masa depan yang harus dilalui dengan perjuangan
dan hati yang kuat.
Tahap 3:
Setelah anak turun dari tangga, ia dituntun berjalan di atas tanah dan bermain
dengan kedua kakinya. Maksudnya agar nantinya adik kita mampu bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri di masa depan.
Tahap 4:
Kemudian, adik dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang sudah dihias. Ia disuruh
untuk mengambil benda-benda yang ada di dalam kurungan itu, seperti uang, buku,
mainan, dll. Barang yang dipilih adik kita adalah gambaran dari minatnya di
masa depan.
Tahap 5:
Setelah itu, adik diberi uang koin dan bunga oleh ayah dan kakek, harapannya
agar ia memiliki rejeki berlimpah dan berjiwa sosial.
Setelah itu, adik dimandikan dengan air kembang 7 rupa, harapannya agar bisa
mengharumkan nama keluarga.
Tahap 6:
Setelah mandi, adik dipakaikan baju yang bagus sebagai harapan kelak ia
mendapat kehidupan yang baik dan layak.
BEDHAYA KETAWANG
Bedhaya Ketawang adalah tarian sakral yang rutin dibawakan
dalam istana sultan Jawa (Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo).
Disebut juga tarian langit, bedhaya ketawang merupakan suatu upacara yang
berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta.
Pada awal mulanya di Keraton Surakarta tarian
ini hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun karena tarian ini dianggap
tarian khusus yang amat sacral, jumlah penarik kemudian ditambah menjadi
sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan putra-putri yang masih ada
hubungan darah dan kekerabatan dari keraton serta seorang penari gaib yag
dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul.
Tarian ini diciptakan oleh Raja Mataram ketiga,
Sultan Agung (1613-1646) dengan latar belakang mitos percintaan raja Mataram
pertama (Panembahan Senopati) dengan Kanjeng Ratu Kidul (penguasa laut
selatan). Sebagai tarian sakral, terdapat beberapa aturan dan upacara ritus
yang harus dijalankan oleh keraton juga para penari.
Bedhaya
ketawang bisa dimainkan sekitar 5,5 jam dan berlangsung hingga pukul 01.00
pagi. Hadirin yang terpilih untuk melihat atau menyaksikan tarian ini pun harus
dalam keadaan khusuk, semedi dan hening. Artinya hadirin tidak boleh berbicara
atau makan, dan hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang
penari. Tarian Bedhaya Ketawang besar hanya di lakukan setiap 8 tahun sekali
atau sewindu sekali. Sementara, Tarian Bedhaya Ketawang kecil dilakukan pada
saat penobatan raja atau sultan, pernikahan salah satu anggota keraton yang
ditambah simbol-simbol.
BATIK
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk
pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga kerajaan di masa lampau,
khususnya di Kerajaan Mataram kemudian Kerajaan Keraton Solo dan
Yogyakarta.
Awalnya
batik dikerjaan terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja,
keluarganya, serta para pengikutnya. Oleh karena banyaknya pengikut raja yang
tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar
keraton untuk dikerjakan di tempat masing-masing. Seiring berjalannya waktu,
kesenian batik ini ditiru oleh rakyat setempat dan kemudian menjadi pekerjaan
kaum wanita di dalam rumahnya untuk mengisi waktu senggang. Selain itu, batik
yang awalnya hanya untuk keluarga keraton, akhirnya menjadi pakaian rakyat yang
digemari pria dan wanita.
Dahulu,
bahan kain putih yang dipergunakan untuk membatik adalah hasil tenunan sendiri.
Sementara bahan pewarnanya diambil dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia. Beberapa
bahan pewarna tersebut antara lain pohon mengkudu, soga, dan nila. Bahan
sodanya dibuat dari soda abu dan garamnya dari tanah lumpur. Sentra kerajinan
batik tersebar di daerah Pekalongan, Kota Surakarta, dan Kab. Sragen.
TARIAN
JAWA
Tarian
merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini. Ternyata pada masa
kerajaan dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika dalam lingkungan
rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka dalam lingkungan istana
tarian mempunyai standar, rumit, halus, dan simbolis. Jika ditinjau dari aspek
gerak, maka pengaruh tari India yang terdapat pada tari-tarian istana Jawa
terletak pada posisi tangan, dan di Bali ditambah dengan gerak mata.
Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater
tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan pusaka
raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram
ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatarbelakang mitos percintaan
antara raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kangjeng Ratu Kidul
(penguasa laut selatan/Samudra Indonesia) (Soedarsono, 1990). Tarian ini
ditampilkan oleh sembilan penari wanita.
SENI
TARI JAWA TENGAH
Tari sering disebut juga
”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata tersebut mempunyai maksud
dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu
tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang
luluh. Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui
gerak-gerak organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras
dengan gending sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya
bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama
Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan
kepentingan upacara adat sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan
yang berangkat dari kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada
pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Surakarta merupakan pusat
seni tari. Sumber utamanya terdapat di Keraton Surakarta dan di Pura
Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke daerah Surakarta
seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah, terus
sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta
itu sudah ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli
yang dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga
Sri Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang berpusat di
Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta.
Macam-macam tariannya:
Srimpi, Bedaya, Gambyong,
Wireng, Prawirayuda, Wayang-Purwa Mahabarata-Ramayana. Yang khusus di
Mangkunegaran disebut Tari Langendriyan, yang mengambil ceritera Damarwulan.
Dalam perkembangannya timbulah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam
dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang
termasuk seni tari bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula
bermacam-macam tari daerah setempat. Tari semacam itu termasuk jenis kesenian
tradisional, seperti: Dadung Ngawuk, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Tayuban,
Jelantur, Ebeg, Ketek Ogleng, Barongan, Sintren, Lengger, dll.
Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan
tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu
ditentukan sekali. Jadi lebih bebas, lebih perseorangan. Dalam seni tari dapat
dibedakan menjadi klasik, tradisional dan garapan baru. Beberapa jenis tari
yang ada antara lain:
1.
Tari Klasik
-Tari Bedhaya:
Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman
Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari disesuaikan
dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya dengan 9 penari
ini akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada
tahun 1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki Panjang Mas, maka
disusunlah Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang. Hal ini kemudian dibawa ke
Kraton Kasunanan Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono I dinamakan Bedhaya Ketawang,
termasuk jenis Bedhaya Suci dan Sakral, dengan nama peranan sebagai berikut:
a. Endhel Pojok
b. Batak
c. Gulu
d. Dhada
e. Buncit
f. Endhel Apit Ngajeng
g. Endhel Apit Wuri
h. Endhel Weton Ngajeng
i. Endhel Weton Wuri
Berbagai jenis tari Bedhaya yang belum mengalami perubahan:
- Bedhaya Ketawang lama tarian 130 menit
- Bedhaya Pangkur lama tarian 60 menit
- Bedhaya Duradasih lama tarian 60 menit
- Bedhaya Mangunkarya lama tarian 60 menit
- Bedhaya Sinom lama tarian 60 menit
- Bedhaya Endhol-endhol lama tarian 60 menit
- Bedhaya Gandrungmanis lama tarian 60 menit
- Bedhaya Kabor lama tarian 60 menit
- Bedhaya Tejanata lama tarian 60 menit
Pada umumnya berbagai jenis Bedhaya tersebut berfungsi menjamu tamu raja dan
menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya Ketawang yang
jarang disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara keperluan
jahat di lingkungan Istana. Di samping itu ada juga Bedhaya-bedhaya yang
mempunyai tema kepahlawanan dan bersifat monumental.
Melihat lamanya penyajian tari Bedhaya (juga Srimpi) maka untuk konsumsi masa
kini perlu adanya inovasi secara matang, dengan tidak mengurangi ciri dan bobotnya.
Contoh Bedhaya garapan baru:
- Bedhaya La la lama tarian 15 menit
- Bedhaya To lu lama tarian 12 menit
- Bedhaya Alok lama tarian 15 menit
- Tari Srimpi:
Tari Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk ke Kraton mendapat
perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat
sebutan : air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya
manusia juga melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya
Batak, Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang
Pendopo. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi
Anglir Mendhung. Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi
masa kini diadakan inovasi. Contoh Srimpi hasil garapan baru:
- Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
- Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
Beberapa contoh tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi:
a. Beksan Gambyong:
berasal dari tari Glondrong
yang ditarikan oleh Nyi Mas Ajeng Gambyong. Menarinya sangat indah ditambah
kecantikan dan modal suaranya yang baik, akhirnya Nyi Mas itu dipanggil oleh
Bangsawan Kasunanan Surakarta untuk menari di Istana sambil memberi pelajaran
kepada para putra/I Raja. Oleh Istana tari itu diubah menjadi tari Gambyong.
Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga ditarikan untuk menyambut tamu
dalam upacara peringatan hari besar dan perkawinan. Adapun ciri-ciri Tari ini:
- Jumlah penari seorang putri atau lebih
- Memakai jarit wiron
- Tanpa baju melainkan memakai kemben atau bangkin
- Tanpa jamang melainkan memakai sanggul/gelung
- Dalam menari boleh dengan sindenan (menyanyi) atau tidak.
b. Beksan Wireng:
berasal dari kata Wira (perwira) dan 'Aeng'
yaitu prajurit yang unggul, yang 'aeng', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan
pada jaman pemerintahan Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra beliau
tangkas dalam olah keprajuritan dengan menggunakan alat senjata perang.
Sehingga tari ini menggambarkan ketangkasan dalam latihan perang dengan
menggunakan alat perang. Ciri-ciri tarian ini:
- Ditarikan oleh dua orang putra/i
- Bentuk tariannya sama
- Tidak mengambil suatu cerita
- Tidak menggunakan ontowacono (dialog)
- Bentuk pakaiannya sama
- Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan gending sampak/srepeg, hanya
iramanya/temponya kendho/kenceng
- Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang kemudian diteruskan gendhing
ketawang
- Tidak ada yang kalah/menang atau mati.
c. Tari Pethilan:
hampir sama dengan Tari Wireng. Bedanya Tari
Pethilan mengambil adegan/ bagian dari ceritera pewayangan.
Ciri-cirinya:
- Tari boleh sama, boleh tidak
- Menggunakan ontowacono (dialog)
- Pakaian tidak sama, kecuali pada lakon kembar
- Ada yang kalah/menang atau mati
- Perang mengguanakan gendhing srepeg, sampak, gangsaran
- Memetik dari suatu cerita lakon.
Contoh dari Pethilan :
- Bambangan Cakil
- Hanila
- Prahasta, dll.
d. Tari Golek:
Tari ini berasal dari
Yogyakarta. Pertama dipentaskan di Surakarta pada upacara perkawinan KGPH.
Kusumoyudho dengan Gusti Ratu Angger tahun 1910. Selanjutnya mengalami
persesuaian dengan gaya Surakarta. Tari ini menggambarkan cara-cara berhias
diri seorang gadis yang baru menginjak masa akhil baliq, agar lebih cantik dan
menarik. Macam-macamnya:
- Golek Clunthang iringan Gendhing Clunthang
- Golek Montro iringan Gendhing Montro
- Golek Surungdayung iringan Gendhing Ladrang Surungdayung, dll.
e. Tari Bondan :
Tari ini dibagi menjadi:
- Bondan Cindogo
- Bondan Mardisiwi
- Bondan Pegunungan/Tani.
Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira, mengungkapkan rasa
kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi Bondan Cindogo satu-satunya
anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan
Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi
seperti pada Bondan Cindogo. Ciri pakaiannya:
- Memakai kain Wiron
- Memakai Jamang
- Memakai baju kotang
- Menggendong boneka, memanggul payung
- Membawa kendhi (dahulu), sekarang jarang.
Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang Ginonjing. Tapi
sekarang ini menurut kemampuan guru/pelatih tarinya. Sedangkan Bondan
Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik
menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan
tapi sekarang diiringi gendhing-gendhing lengkap. Ciri pakaiannya:
- mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping
dan membawa alat pertanian.
- Di bagian dalam sudah mengenakan pakaian seperti Bondan biasa, hanya tidak
memakai jamang tetapi memakai sanggul/gelungan. Kecuali jika memakai jamang
maka klat bahu, sumping, sampur, dll sebelum dipakai dimasukkan tenggok.
Bentuk tariannya ; pertama melukiskan kehidupan petani kemudian pakaian bagian
luar yang menggambarkan gadis pegunungan dilepas satu demi satu dengan
membelakangi penonton. Selanjutnya menari seperti gerak tari Bondan Cindogo /
Mardisiwi.
f. Tari Topeng :
Tari ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau drama. Tari Topeng yang
pernah mengalami kejayaan pada jaman Majapahit, topengnya dibuat dari kayu
dipoles dan disungging sesuai dengan perwatakan tokoh/perannya yang diambil
dari Wayang Gedhog, Menak Panji. Tari ini semakin pesat pertumbuhannya sejak
Islam masuk terutama oleh Sunan Kalijaga yang menggunakannya sebagai penyebaran
agama. Beliau menciptakan 9 jenis topeng, yaitu topeng Panji Ksatrian,
Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco(Tembem), Turas
(Penthul). Pakaiannya dahulu memakai ikat kepala dengan topeng yang diikat pada
kepala.
2.
Tari Tradisional
Selain tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula tari-tari tradisional
yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah tertentu. Kesenian tradisional
tersebut tak kalah menariknya karena mempunyai keunikan-keunikan tersendiri.
Beberapa contoh kesenian tradisional:
a. Tari Dolalak, di Purworejo
Pertunjukan ini dilakukan oleh beberapa orang penari yang berpakaian menyerupai
pakaian prajurit Belanda atau Perancis tempo dulu dan diiringi dengan alat-alat
bunyi-bunyian terdiri dari kentrung, rebana, kendang, kencer, dllnya. Menurut
cerita, kesenian ini timbul pada masa berkobarnya perang Aceh di jaman Belanda
yang kemudian meluas ke daerah lain.
b. Patolan (Prisenan), di Rembang
Sejenis olahraga gulat rakyat yang dimainkan oleh dua orang pegulat dipimpin
oleh dua orang Gelandang (wasit) dari masing-masing pihak. Pertunjukan ini
diadakan sebagai olah raga dan sekaligus hiburan di waktu senggang pada sore
dan malam hari terutama di kala terang bulan purnama. Lokasinya berada di
tempat-tempat yang berpasir di tepi pantai. Seni gulat rakyat ini berkembang di
kalangan pelajar terutama di pantai antara kecamatan Pandagan, Kragan, Bulu
sampai ke Tuban, Jawa Timur.
c. Blora.
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang, Barongan dan Wayang
Krucil(sejenis wayang kulit terbuat dari kayu).
d. Pekalongan
Di daerah Pekalongan terdapat kesenian Kuntulan dan Sintren. Kuntulan adalah
kesenian bela diri yang dilukiskan dalam tarian dengan iringan bunyi-bunyian
seperti bedug, terbang, dllnya. Sedangkan Sintren adalah sebuah tari khas yang
magis animistis yang terdapat selain di Pekalongan juga di Batang dan Tegal.
Kesenian ini menampilkan seorang gadis yang menari dalam keadaan tidak sadarkan
diri, sebelum tarian dimulai gadis menari tersebut dengan tangan terikat
dimasukkan ke dalam tempat tertutup bersama peralatan bersolek, kemudian selang
beberapa lama ia telah selesai berdandan dan siap untuk menari. Atraksi ini
dapat disaksikan pada waktu malam bulan purnama setelah panen.
e. Obeg dan Begalan.
Kesenian ini berkembang di Cilacap. Pemain Obeg ini terdiri dari beberapa orang
wanita atau pria dengan menunggang kuda yang terbuat dari anyaman bambu
(kepang), serta diiringi dengan bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini
dipimpin oleh seorang pawang (dukun) yang dapat membuat pemain dalam keadaan
tidak sadar.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan adat
Banyumas. Kesenian ini hidup di daerah Bangumas pada umumnya juga terdapat di
Cilacap, Purbalingga maupun di daerah di luar Kabupaten Banyumas. Yang bersifat
khas Banyumas antara lain Calung, Begalan dan Dalang Jemblung.
f. Calung dari Banyumas
Calung adalah suatu bentuk kesenian rakyat dengan menggunakan bunyi- bunyian
semacam gambang yang terbuat dari bambu, lagu-lagu yang dibawakan merupakan
gending Jawa khas Banyumas. Juga dapat untuk mengiringi tarian yang diperagakan
oleh beberapa penari wanita. Sedangkan untuk Begalan biasanya diselenggarakan
oleh keluarga yang baru pertama kalinya mengawinkan anaknya. Yang mengadakan
upacara ini adalah dari pihak orang tua mempelai wanita.
g. Kuda Lumping (Jaran Kepang) dari Temanggung
Kesenian ini diperagakan secara massal, sering dipentaskan untuk menyambut tamu
-tamu resmi atau biasanya diadakan pada waktu upacara
h. Lengger dari Wonosobo
Kesenian khas Wonosobo ini dimainkan oleh dua orang laki-laki yang
masing-masing berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita. Diiringi dengan
bunyi-bunyian yang antara lain berupa Angklung bernada Jawa. Tarian ini
mengisahkan ceritera Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya yang pergi
tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh raksasa yang digambarkan
memakai topeng. Pada puncak tarian penari mencapai keadaan tidak sadar.
i. Jatilan dari Magelang
Pertunjukan ini biasanya dimainkan oleh delapan orang yang dipimpin oleh
seorang pawang yang diiringi dengan bunyi-bunyian berupa bende, kenong dll. Dan
pada puncaknya pemain dapat mencapai tak sadar.
j. Tarian Jlantur dari Boyolali
Sebuah tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan memakai ikat kepala gaya
turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang dengan senjata tombak dan
pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang akan berangkat ke medan perang,
dahulu merupakan tarian penyalur semangat kepahlawanan dari keturunan prajurit
Diponegoro.
k. Ketek Ogleng dari Wonogiri
Kesenian yang diangkat dari ceritera Panji, mengisahkan cinta kasih klasik pada
jaman kerajaan Kediri. Ceritera ini kemudian diubah menurut selera rakyat
setempat menjadi kesenian pertunjukan Ketek Ogleng yang mengisahkan percintaan
antara Endang Roro Tompe dengan Ketek Ogleng. Penampilannya dititik beratkan
pada suguhan tarian akrobatis gaya kera (Ketek Ogleng) yang dimainkan oleh
seorang dengan berpakaian kera seperti wayang orang. Tarian akrobatis ini di
antara lain dipertunjukan di atas seutas tali.
3.
Tari Garapan Baru (Kreasi Baru)
Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak
meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional.
Sebagai contoh:
a. Tari Prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan
perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng sebagai
alat untuk melindungi diri.
b. Tari Tepak-Tepak Putri
Tari yang menggambarkan kelincahan gerak remaja-remaja putri sedang bersuka ria
memainkan rebana, dengan iringan pujian atau syair yang bernafas Islam.